Siapa Bilang Rasulullah Muhammad SAW Menikah
Secara Kristen ... ??? - Setali tiga uang!! Itulah misi yang diusung oleh para
misionaris JIL –kelompok jaringan liberal berkedok Islam– dan penginjil
Kristen. Hal ini nampak nyata dengan banyaknya persamaan jurus ketika mereka
menggugat Islam baik kesucian Rasulullah, otentisitas Al-Qur'an wahyu Allah,
validitas hadits Nabi, maupun keagungan syariat Islam. Salah satu objek yang
tak pernah surut dari hujatan para misionaris JIL dan penginjil Kristen adalah
soal pernikahan Rasulullah SAW dengan Khadijah bintu Khuwailid.
Mohamad Guntur Romli, salah seorang punggawa JIL menuding pewahyuan Al-Qur'an
adalah proses kolektif, baik sumber maupun proses kreatifnya. Al-Qur'an adalah
kitab saduran yang menyunting (mengedit) keyakinan dan kitab suci Kristen sekte
Ebyon, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntingnya. Salah satu
kepentingannya adalah karena kedekatan Nabi Muhammad dengan Waraqah bin Naufal,
seorang rahib Kristen Ebyon, yang memiliki jasa besar dalam menikahkannya
dengan Khadijah. Berikut tuduhan Guntur:
“Bukti lain bahwa Al-Quran tidak bisa melampaui
konteksnya adalah kisah tentang Nabi Isa (Yesus Kristus). Sekilas kita melihat
bahwa kisah Nabi Isa dalam Al-Quran berbeda dengan versi Kristen. Dalam
Al-Quran, Isa (Yesus) hanyalah seorang rasul, bukan anak Allah, dan akhir
hayatnya tidak disalib. Sementara itu, dalam doktrin Kristen, akhir hidup Yesus
itu disalib, yang diyakini untuk menebus dosa umatnya.
Ternyata kisah tentang tidak disalibnya Nabi Isa juga dipengaruhi oleh
keyakinan salah satu kelompok Kristen minoritas yang berkembang saat itu, yakni
sekte Ebyon. Bagi kelompok Kristen mayoritas yang menyatakan Isa (Yesus) mati
disalib, sekte Ebyon adalah sekte Kristen yang bidah...
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Al-Quran lebih memilih pandangan Ebyon
yang minoritas dan keyakinannya dianggap bidah oleh mayoritas Kristen waktu
itu? Saya memiliki dua asumsi. Pertama, karena pandangan Ebyon ini lebih dekat
dengan akidah ketauhidan Islam. Kedua, sepupu Khadijah bernama Waraqah bin
Naufal adalah seorang rahib sekte Ebyon. Kedekatan Waraqah dengan pasangan
Muhammad–Khadijah diakui oleh sumber-sumber Islam, baik dari buku-buku Sirah
(Biografi Nabi Muhammad), seperti Sirah Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam, ataupun
buku-buku hadis standar: Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain.
Waraqah adalah wali Khadijah yang menikahkannya dengan Muhammad. Seorang
perempuan kali itu –yang kemudian dilanjutkan oleh syariat Islam– tidak bisa
menikah tanpa seorang wali laki-laki. Bisa dibayangkan kedekatan Waraqah dengan
Khadijah dan Muhammad.
Kesimpulan saya sementara kisah Isa (Yesus) dalam Al-Quran, yang menegaskan
bahwa Isa hanyalah seorang rasul, bukan anak Tuhan, dan tidak ada penyaliban
terhadapnya adalah “saduran” dari keyakinan sebuah sekte Kristen: Ebyon.”
(Pewahyuan Al-Qur'an: Antara Budaya dan Sejarah,” (http://www.korantempo.com/).
“Tudingan Guntur itu bukan hal yang baru dalam
daftar gugatan para musuh Islam. Jauh sebelumnya, tudingan yang sama
dilontarkan oleh Pendeta Muhammad Nurdin –anggota WASAI/TAZI Lembaga Alkitab
Indonesia– dengan dosis yang lebih tinggi. Dalam buku-buku kristenisasi
berkedok Islam yang ditulisnya, Nurdin menuding Rasulullah sebagai orang yang
banyak berhutang budi kepada Kristen karena sebelum jadi nabi, Muhammad menikah
dengan Khadijah, seorang wanita Kristen yang taat ke gereja.
Prosesi pernikahan Muhammad dengan Khadijah dilangsungkan dengan tatacara
ritual Kristen, di mana yang bertindak sebagai wali nikah adalah pastur besar
bernama Romo Waraqah bin Naufal. Maka dalam khutbah nikah tersebut Romo Waraqah
membacakan ayat-ayat Taurat dan Injil. Tak lupa, Romo Waraqah menghadiahkan
kado nikah kepada Muhammad berupa sebuah Alkitab (Bibel). Setelah menikah,
selama 15 tahun Muhammad kursus Alkitab (Bibel) bersama Khadijah. Atas dasar
itulah, maka Nurdin menyimpulkan bahwa Muhammad pernah beribadah secara Kristen
di gereja selama 15 tahun bersama Khadijah dan pamannya, Romo Waraqah bin
Naufal.
“Bila pamannya Siti Khadijah yaitu Waraqah bin Naufal, faham akan Taurat dan
Injil, beliau adalah seorang Pendeta besar, atau seorang Pastur besar atau
seorang Penginjil besar dan pada pernikahan Muhammad SAW dan Siti Khadijah
tentulah beliau bertindak sebagai Wali atau Penghulu pada waktu itu, dan
menyampaikan Firman Allah yaitu Taurat dan Injil, agama Yahudi dan Nasrani,
karena agama Islam dan Alquran belum ada pada waktu itu” (Keselamatan Didalam
Islam, hlm. 24).
“Pada waktu pernikahan berlangsung antara
Muhammad SAW dengan Siti Khadijah seorang Nasrani, dan pasti hadiah Waraqah bin
Naufal sebagai seorang Pendeta atau Pastur adalah sebuah Alkitab. Dan tentu
Muhammad SAW selama 15 tahun bersama istrinya Siti Khadijah mempelajari
Alkitab” (Keselamatan Didalam Islam, hlm. 53).
“Istri beliau Siti Khadijah beragama Kristen Nasrani dan paman beliau Waraqah
bin Naufal adalah pendeta bersama pendeta alim Buhaira namanya, dan umat pada
waktu itu adalah semua umat Kristen Nasrani yang beribadah tentu di gereja,
karena masjid pada waktu itu belum ada” (Ayat-ayat Penting di dalam Al-Qur’an,
hlm. 68).
“Pada waktu Muhammad SAW berumur 25 tahun beliau menikah dengan Khadijah yang
beragama Nasrani. Dan pada waktu itu Muhammad SAW berumur 40 tahun beliau
bertahanuts menyendiri. Bila demikian Muhammad SAW telah bersama istrinya
selama 15 tahun, beliau tentu beribadah bersama istrinya dan pamannya Waraqah
bin Naufal dan Pendeta Buhaira yang mana tentu Muhammad SAW ikut beribadah
Nasrani dan beliau bertahanuts menyendiri dengan segala bekal dan pelajaran
Alkitab, Taurat dan Injil” (Keselamatan Didalam Islam, hlm. 35).
Sebenarnya, pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah sudah lama jadi primadona
bagi para misionaris JIL dan Kristen untuk menyengat akidah Islam. Tetapi
lemahnya validitas data menjadikan tulisan mereka bernilai tak lebih dari
sebuah “teologi imajiner.” Karenanya, kita tidak butuh rekayasa dan
dugaan-dugaan untuk membantah tuduhan-tuduhan itu, karena sejarahlah yang
otomatis menjawabnya:
Pertama, Khadijah bintu Khuwailid memang memiliki paman seorang
rahib bernama Waraqah bin Naufal. Tapi Waraqah bukanlah orang yang menikahkan
Khadijah dengan Muhammad. Kitab-kitab sejarah Nabi mencatat bahwa yang meminang
Khadijah adalah paman Muhammad yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib. Lalu
yang menikahkan Muhammad dengan Khadijah adalah paman Khadijah yang bernama
‘Amru bin Asad, sedangkan yang memberikan khutbah nikah adalah Abu Thalib,
paman Muhammad. Maharnya pun bukan Alkitab (Bibel), tapi 20 ekor unta. (lihat:
As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, juz I, hlm. 201).
Kedua, Fakta-fakta ini sekaligus menampik tudingan Pendeta Nurdin
bahwa pernikahan Muhammad dihiasi dengan khutbah ayat-ayat Alkitab (Bibel) yang
disampaikan oleh Pastur Waraqah bin Naufal.
Ketiga, fakta bahwa yang menikahkan Muhammad dengan Khadijah
adalah paman Khadijah yang bernama ‘Amru bin Asad, ini harus digarisbawahi oleh
Guntur Romli. Karena dengan fakta ini, maka tudingannya terhadap Nabi Muhammad
sebagai orang yang menyadur kisah-kisah Bibel sebagai balas jasa terhadap rahib
Waraqah yang menikahkannya dengan Khadijah, terbantah secara otomatis.
Keempat, Tuduhan bahwa Muhammad menikahi Khadijah dengan tatacara
Kristen karena pada waktu itu Islam belum ada karena Muhammad belum menjadi
Nabi, ini adalah logika kelirumologi yang naif.
Untuk menganalisa ritual pernikahan yang dipakai oleh Muhammad dan Khadijah,
kita tidak perlu repot-repot dan merekayasa tatacara pernikahan yang diterima
oleh bangsa Arab pada waktu itu. Bangsa Arab pada waktu itu masih mengikuti
adat-istiadat yang diwarisi turun-temurun dari syariat Nabi Ibrahim yang hanif.
Hal ini terbukti, mereka masih melaksanakan syariat khitan dan menghormati
Ka’bah yang didirikan oleh Nabiyullah Ibrahim dan putranya, Ismail
alaihissalam. Secara historis, bangsa Arab adalah keturunan Ibrahim melalui
Ismail yang menikahi penduduk Mekkah dari suku Jurhum yang berasal dari Yaman.
Keturunan Ismail inilah yang beranak-pinak di Mekkah yang disebut sebagai Bani
Ismail atau Adnaniyyun.
Sampai zaman Muhammad belum diangkat Allah sebagai Nabi, bangsa Arab meyakini
bahwa pemeliharaan serta kepemimpinan dalam upacara keagamaan di depan Ka’bah
itu adalah hak Bani Ismail. Salah satu pemimpin kabilah Quraisy dari keturunan
Ismail adalah Qushaiy.
Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa satu-satunya syariat yang diterapkan
dalam pernikahan Muhammad dengan Khadijah adalah syariat hanif Nabi Ibrahim.
Kelima, Anggapan Pendeta Nurdin bahwa Khadijah adalah seorang
Kristen yang aktif di gereja, tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena
dia tidak mencantumkan satu referensi pun dalam tulisannya. Untuk mengetahui
dengan pasti apa agama yang dianut Khadijah pada waktu itu, sebaiknya Nurdin
membaca buku Khadijah: Drama Cinta Abadi Sang Nabi tulisan Dr
Muhammad Abduh Yamani. Berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya, buku ini
menyimpulkan bahwa Khadijah bukan seorang Kristen, melainkan penganut agama
Ibrahim alaihissalam (Al-Hanif) yang mendapat gelar “Ath-Thahirah” (perempuan
suci).
Keenam, tudingan bahwa Rasulullah menyadur kisah-kisah Bibel sesuai dengan
kepentingannya juga sangat rapuh. Hanya orang kafir saja yang pantas melakukan
tudingan ini.
“Dan orang-orang kafir berkata: “Al-Qur’an ini tidak lain hanya¬lah
kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain,
maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar”
(Qs Al-Furqan 4).
Tuduhan bahwa Nabi Muhammad menjiplak Bibel terbantah oleh kenyataan bahwa
beliau adalah seorang nabi yang ummiy (buta aksara). Allah menegaskan hal ini
dalam surat Al-‘Ankabut 48-49 dan Al-A’raf 157-158. Meski ditakdirkan sebagai
seorang yang ummiy yang tidak bisa menyadur kitab-kitab terdahulu, tapi seluruh
ayat Al-Qur'an tidak dapat diragukan, justru semakin terjamin otentisitasnya
karena segala yang disampaikan Nabi Muhammad adalah wahyu (inspirasi) langsung
dari Allah (Qs. An-Najm 3-5).
Salah satu buktinya adalah ayat Al-Qur'an:
“...Dan orang Nasrani berkata: “Al-Masih itu putra Allah.” Demikian itulah
ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir
yang terdahulu.” (Qs. At-Taubah 30).
Ayat ini menyatakan bahwa doktrin ketuhanan Yesus (Trinitas) adalah doktrin
yang menjiplak keyakinan orang-orang kafir (pagan) sebelumnya. Ternyata,
sejarah membuktikan bahwa Trinitas Kristiani yang meyakini Tuhan ada 3 oknum:
Tuhan Bapa, Tuhan Ana dan Roh Kudus adalah doktrin yang sudah ada jauh sebelum
Kristen lahir ke dunia. Buktinya, di Mesir sudah Trinitas yang meyakini:
Osiris, Horus dan Isis, masing-masing sebagai Tuhan Bapa, Anak dan Ibu. Horus
diyakini sebagai juru selamat yang mati menebus dosa dengan darahnya,
dikuburkan, kemudian jasadnya bangkit pada hari ketiga kemudian bangkit lagi.
Trinitas/Trimurti di India (Hindu), meyakini Tuhan terdiri dari tiga oknum
(Trimurti), yaitu Brahma (Tuhan Bapa), Wisnu (Tuhan Pemelihara), dan Syiwa
(Tuhan Pembinasa). Brahma mempunyai seorang anak yang tunggal yaitu Krisna yang
dilahirkan di kandang sapi. Oknum ketiga dari Trimurti adalah Syiwa. Kepadanya
sering dikorbankan beratus-ratus nyawa manusia. Tetapi, menurut pemeluk Hindu,
nyawa-nyawa yang dikorbankan itu sesungguhnya adalah inkarnasi Syiwa sendiri.
Di Persia (Mitraisme), meyakini Mitra (dewa matahari) sebagai Juru selamat
penebus dosa yang lahir dari seorang perawan pada hari Minggu tanggal 25
Desember. Hari Minggu mereka yakini sebagai hari suci, dalam perkembangannya,
tradisi ini diabadikan sebagai hari suci untuk beribadah di gereja oleh umat
Kristen. Sehingga hari Minggu disebut sebagai Sunday (hari Matahari).
Coba perhatikan, wahyu yang diterima Rasulullah menyatakan “yudhohi’una
qaulalladziina kafaruu min qablu” (mereka meniru perkataan orang-orang kafir
yang terdahulu.” Sungguh tepat apa yang disampaikan oleh Nabi dengan sejarah
yang sudah ada jauh sebelum beliau lahir. Padahal Rasulullah tidak pernah
membaca buku-buku sejarah maupun enskiklopedi agama, karena beliau adalah
seorang yang ummiy. Tidakkah hal ini direnungkan oleh para misionaris JIL dan
Kristen